I have a new hobby now. I have already like this thing since a long time ago. Bus. What's interesting with this big vehicle? I wonder if i can go around Indonesia or maybe around the world by bus. I will ask my wife to join me go around the world by bus. Talking about bus, i have some reasons why i like this big vehicle. Of course i will talk about a good quality bus, not an "ebrek-ebrek" bus or Bismania often call it "bumel".
First, the design is always up to date. The carroseries or factories to design the bus interior and exterior always release their new bus design regularly. Since year 2000's, bus industry is more competitive. Some factories like Tentrem, Laksana, New Armada which are not really familiar before, start to compete famous factories like Adi Putro and Rahayu Santosa. The design itself also provides some new technology in audio and the material of the interiors. LED light, air suspension and some others new technology are included to build a bus.
Second, i like the way bus drivers drive their bus. Elegant and safe. With the big body it has, bus is difficult to drive. the driver should controls the bus carefully and in a full concentration. But they can drive it in a high speed. I have seen the spedometer and it shows the speed is about 120 kn/hour. Wow!!!!
I also prefer to go to my mother's hometown by bus. Do you know the bus operator company? The company is named PO Garuda Mas. Since i was child, i always use this bus operator. These are some photos of the bus..
thanks to the group garudamasMania for sharing the information. :)
There are so many jumbled words in our brain, let's arrange them to be a good sentence.
Catatan Kaki Mandalawangi #lanjutan
Diposting oleh
Unknown
di
19.53
Minggu, 12 Februari 2012
Tenaga kami benar-benar terkuras untuk mencapai Mandalawangi. Sepertinya Ojan sangat jauh di belakang kami. Saya, Kak Yusuf dan Ardy pun tidur di pinggir trek saking lelahnya. Hampir 30 menit kami tidur, tapi Ojan yang tertinggal jauh di belakang juga belum terlihat. Kami pun bangun dan melanjutkan perjalanan. Di perjalanan, kami bertemu kelompok lain yang salah satu anggotanya mengalami polip. Mereka meminjam kompor kami untuk membuat uap bagi si polip. Alhamdulillah semua berjalan lancar. Perjalanan kami lanjutkan. Rupanya, Mandalawangi sudah tidak jauh lagi. Setelah melewati tanjakan terjal terakhir, sampailah kami di tugu Puncak Pangrango. Ojan dan Bocil belum nampak juga, sedangkan cuaca semakin gelap. Kami lalu turun ke Mandalawangi berharap Ojan segera datang. Di sana kami sholat ashar, mengisi botol minum dan mengecek perlengkapan. Ternyata semua tenda ada di tas yang dibawa Ojan, sedangkan semua makanan dan logistik ada di tas-tas kami, yang tertinggal hanya fly sheet.
Jam menunjukkan pukul 5 sore, tetapi Ojan juga belum datang. Cuaca mulai gerimis. Kami naik lagi ke Tugu Pangrango, berharap bisa bertemu Ojan di sana.
Di sana ada beberapa pendaki lain yang juga sedang menunggu temannya. Kami bertanya pada mereka apakah melihat orang yang berciri-ciri seperti Ojan dan Bocil. Ternyata mereka tahu, tak jauh di belakang mereka katanya. Dan tak lama kemudian, muncul lah Ojan dan Bocil. Alhamdulillah..
sambil nunggu Ojan, foto2 dulu deh..
Car Free day, membangun budaya naik sepeda.
Diposting oleh
Unknown
di
20.36
Kamis, 09 Februari 2012
Hari minggu tanggal 18 Desember yg lalu, Car Free Day yang rutin dilaksanakan di Jakarta merambah ke Jalan Pemuda, Jakarta Timur. Jalan ditutup untuk kendaraan bermotor kecuali busway dari pukul 6 pagi hingga pukul 12 siang. Hari itu bertepatan pula dengan agenda hari kedua Rapat Anggota Tahunan LPMJ Bahasa dan Sastra Inggris. Saya sebagai pengurus BEM Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris sudah pasti harus datang ke acara tersebut.
Saya berencana ikut menggowes sepeda saya untuk menyemarakkan Car Free Day kali ini. Sepeda BMX yang saya beli 7 tahun lalu pun saya gowes dari rumah saya di Bekasi hingga ke kampus (UNJ). Perbekalan telah disiapkan. Setelan baju untuk acara di kampus sudah masuk tas, air minum dan parfum pun sudah terbawa. Perjalanan sekitar 25 kilometer harus dilalui pagi itu. Berhubung hari ini hari Minggu, maka lalu lalang kendaraan tak begitu padat, hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor.
Keluar Kawasan Industri Pulo Gadung, saya mulai memperlambat laju sepeda. WOW!!! Ternyata antusiasme warga sekitar sangat besar. Jalan Pemuda bagaikan lautan manusia. Ada segerombolan ibu-ibu yang bersenam ria, lalu ada anak kecil yang bermain bola di jalanan, juga komunitas-komunitas sepeda lainnya yang ikut meramaikan kegiatan hari ini. Lanjut menyusuri jalan, terlihat pula stand salah satu provider telekomunikasi yang mempromosikan produknya dengan mengadakan senam pagi bersama dan hiburan.
Ternyata kegiatan Car Free Day hanya berlaku sampai perempatan Arion. Oh, ternyata hanya beberapa kilo saja. Tapi ya sudah lah. Daripada tidak ada kegiatan ini sama sekali. Pengalaman pertama ini sangat mengesankan. Harapan untuk pemerintah DKI, perbanyak frekuensi Car Free Day di Jalan Pemuda. Insya Allah kegiatan ini sangat bermanfaat bagi warga sekitar dan seluruh warga Jakarta
.
Saya berencana ikut menggowes sepeda saya untuk menyemarakkan Car Free Day kali ini. Sepeda BMX yang saya beli 7 tahun lalu pun saya gowes dari rumah saya di Bekasi hingga ke kampus (UNJ). Perbekalan telah disiapkan. Setelan baju untuk acara di kampus sudah masuk tas, air minum dan parfum pun sudah terbawa. Perjalanan sekitar 25 kilometer harus dilalui pagi itu. Berhubung hari ini hari Minggu, maka lalu lalang kendaraan tak begitu padat, hanya ada beberapa mobil dan sepeda motor.
Keluar Kawasan Industri Pulo Gadung, saya mulai memperlambat laju sepeda. WOW!!! Ternyata antusiasme warga sekitar sangat besar. Jalan Pemuda bagaikan lautan manusia. Ada segerombolan ibu-ibu yang bersenam ria, lalu ada anak kecil yang bermain bola di jalanan, juga komunitas-komunitas sepeda lainnya yang ikut meramaikan kegiatan hari ini. Lanjut menyusuri jalan, terlihat pula stand salah satu provider telekomunikasi yang mempromosikan produknya dengan mengadakan senam pagi bersama dan hiburan.
Ternyata kegiatan Car Free Day hanya berlaku sampai perempatan Arion. Oh, ternyata hanya beberapa kilo saja. Tapi ya sudah lah. Daripada tidak ada kegiatan ini sama sekali. Pengalaman pertama ini sangat mengesankan. Harapan untuk pemerintah DKI, perbanyak frekuensi Car Free Day di Jalan Pemuda. Insya Allah kegiatan ini sangat bermanfaat bagi warga sekitar dan seluruh warga Jakarta
.
Catatan Kaki Mandalawangi #part 1
Diposting oleh
Unknown
di
22.07
Senin, 09 Januari 2012
Siapa yang tak kenal Lembah Mandalawangi?? Di film Gie, sang tokoh sering menjelajah ke sana. Semua penjelajah gunung juga pasti sudah hafal dengan tempat ini. Kebetulan hari Jumat, 23 Desember 2011 kemarin, saya dan kawan-kawan berkesempatan mengunjungi tempat tersebut. Saya bukan lah anggota pecinta alam di kampus, tapi saya merasa bangga dapat mendaki sampai ke sana.
Berangkat lah 4 pemuda kala itu, saya, Ardy, Kak Yusuf, Kak Ojan, dan satu wanita tangguh, Kak Bocil.
Persiapan sudah dimulai dengan baik di kampus. Pagi-pagi saya sudah harus menunggu TipTop buka untuk belanja logistik pendakian, dilanjutkan dengan sholat Jumat dan UAS Basic Writing. Akhirnya pukul 4 sore kami memulai perjalanan.
Metromini pun dicegat untuk mengantar kami ke pangkalan bus yang akan mengantar kami ke Ciawi. Beruntung kami langsung mendapatkan bus dan tak menunggu lama, bus itu langsung berangkat. Seperti bus ekonomi kebanyakan, semua kursi terisi penuh, dan ditambah tas-tas besar kami yang menambah sempit bus itu. Memasuki kota Bogor, cuaca semakin mendung, hingga akhirnya perjalanan kami dihiasi hujan deras. Sampai lah kami di keluar tol Ciawi. Kami turun dan menyambung bus lagi ke arah Puncak. Hari sudah petang, cuaca masih hujan rintik-rintik. Beruntung lagi, kami langsung mendapatkan bus ke arah Cibodas. Bus kali ini nyaman, sepi dan berpendingin udara. Kami menikmati betul perjalanan itu. Tak terasa kami sudah tiba di pertigaan Cibodas. Sebelum naik ke Taman Cibodas, kami menyempatkan dulu untuk belanja melengkapi logistik yang kurang. Setelah itu, kami pun bergegas menuju angkot kuning yang akan membawa kami naik ke Taman Cibodas. Angkot itu berisi kami berlima, 2 orang pendaki lain, 3 orang warga, dan tas-tas besar kami.
Tibalah kami di depan pintu masuk Cibodas. Kami tidak masuk ke Cibodas, tapi istirahat di warung sekitar yang memang biasa menjadi base camp para pendaki sebelum naik gunung. Kami membuka lagi tas-tas kami dan packing ulang barang-barang kami. Lalu sholat dan tidur.
Sekitar jam 12 malam, kami bangun dan bersiap-siap untuk naik. Senter sudah ditangan, siap untuk mengarungi gelapnya malam.
Kami tiba di pos pertama untuk pengecekan identitas, lalu meneruskan perjalanan. Kami jalan begitu lambat karena terbatasnya penerangan. Kami harus hati-hati melangkah dalam keadaan sedikit pencahayaan. Suara burung dan makhluk malam lain makin menyemangati saya yang baru pertama kali merasakan naik gunung. Kami juga beristirahat beberapa kali untuk meregangkan otot kaki.
Tiba di pos Panyangcangan, kami berhenti untuk istirahat. Di sana, kami bertemu rombongan pendaki lain yang sedang camping di pos tersebut. Kami disuguhi kacang ijo. Sungguh ikatan sesama pendaki sangat erat. Tak lama kemudian, kami melanjutkan pendakian, menyusuri jalan gelap dengan sangat pelan.
Tak terasa kami sudah hampir 6 jam berjalan ketika sampai di pos air panas. Di sana kami berhenti dan membuka peralatan masak kami untuk sarapan. Kopi, energen, teh manis, mie goreng, nasi goreng jadi santapan kami pagi itu. Tak lupa solat Subuh, meskipun waktu sudah pukul 6 kurang.
Kami lanjut sekitar pukul 9 pagi menuju pos Kandang Badak. Di sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak rombongan pendaki lain. Ditemani bunga2 yang sedang mekar, menambah romantisnya perjalanan. Cuaca cerah sepertinya menjadi berkah tersendiri bagi saya karena dapat menikmati pemandangan yang tidak bisa ditemui di Jakarta.
Hampir jam 12 siang ketika kami sampai di Kandang Badak. Rupanya di sana sudah banyak pendaki yang mendirikan tenda. Sebagai informasi, Kandang Badak adalah pos terakhir sebelum pendaki melanjutkan ke puncak Gede atau mau ke puncak Pangrango. Di sana kami mengisi botol air minum, sedikit mengisi perut kembali dan istirahat.
Ternyata puncak Gede dan Pangrango berbeda. Aku berpikir bahwa 2 nama tersebut adalah satu kesatuan. Setelah dari Kandang Badak tadi, kita akan bertemu 2 jalan yang memisahkan apakah mau ke puncak Gede (Surya Kencana) atau puncak Pangrango (Mandalawangi). Tujuan kami adalah ke puncak Pangrango. Cuaca mulai berkabut dan sedikit gelap. Jalan yang dilalui juga ternyata sangat menantang. Banyak pohon tumbang di tengah jalan dan tanjakan terjal yang sempit. Sampai akhirnya hujan mulai turun, kami bergegas memakai raincoat. Ternyata medan yang terjal sungguh menguras tenaga. Nafas mulai terengah-engah, kaki mulai sedikit malas berjalan, ditambah rasa ngantuk berjalan 12 jam. Kami berkali-kali berhenti hanya untuk mengatur nafas. Di tengah perjalanan, Kak Bocil mulai kelelahan. Rombongan kami terbagi menjadi 2. Saya, Ardy, dan Kak Ucup jalan di depan dan Kak Ojan dan Kak Bocil tertinggal di belakang. Kak Ojan menyuruh kami jalan duluan saja biar cepat sampai.
#bersambung
Berangkat lah 4 pemuda kala itu, saya, Ardy, Kak Yusuf, Kak Ojan, dan satu wanita tangguh, Kak Bocil.
Persiapan sudah dimulai dengan baik di kampus. Pagi-pagi saya sudah harus menunggu TipTop buka untuk belanja logistik pendakian, dilanjutkan dengan sholat Jumat dan UAS Basic Writing. Akhirnya pukul 4 sore kami memulai perjalanan.
Metromini pun dicegat untuk mengantar kami ke pangkalan bus yang akan mengantar kami ke Ciawi. Beruntung kami langsung mendapatkan bus dan tak menunggu lama, bus itu langsung berangkat. Seperti bus ekonomi kebanyakan, semua kursi terisi penuh, dan ditambah tas-tas besar kami yang menambah sempit bus itu. Memasuki kota Bogor, cuaca semakin mendung, hingga akhirnya perjalanan kami dihiasi hujan deras. Sampai lah kami di keluar tol Ciawi. Kami turun dan menyambung bus lagi ke arah Puncak. Hari sudah petang, cuaca masih hujan rintik-rintik. Beruntung lagi, kami langsung mendapatkan bus ke arah Cibodas. Bus kali ini nyaman, sepi dan berpendingin udara. Kami menikmati betul perjalanan itu. Tak terasa kami sudah tiba di pertigaan Cibodas. Sebelum naik ke Taman Cibodas, kami menyempatkan dulu untuk belanja melengkapi logistik yang kurang. Setelah itu, kami pun bergegas menuju angkot kuning yang akan membawa kami naik ke Taman Cibodas. Angkot itu berisi kami berlima, 2 orang pendaki lain, 3 orang warga, dan tas-tas besar kami.
Tibalah kami di depan pintu masuk Cibodas. Kami tidak masuk ke Cibodas, tapi istirahat di warung sekitar yang memang biasa menjadi base camp para pendaki sebelum naik gunung. Kami membuka lagi tas-tas kami dan packing ulang barang-barang kami. Lalu sholat dan tidur.
Sekitar jam 12 malam, kami bangun dan bersiap-siap untuk naik. Senter sudah ditangan, siap untuk mengarungi gelapnya malam.
Kami tiba di pos pertama untuk pengecekan identitas, lalu meneruskan perjalanan. Kami jalan begitu lambat karena terbatasnya penerangan. Kami harus hati-hati melangkah dalam keadaan sedikit pencahayaan. Suara burung dan makhluk malam lain makin menyemangati saya yang baru pertama kali merasakan naik gunung. Kami juga beristirahat beberapa kali untuk meregangkan otot kaki.
Tiba di pos Panyangcangan, kami berhenti untuk istirahat. Di sana, kami bertemu rombongan pendaki lain yang sedang camping di pos tersebut. Kami disuguhi kacang ijo. Sungguh ikatan sesama pendaki sangat erat. Tak lama kemudian, kami melanjutkan pendakian, menyusuri jalan gelap dengan sangat pelan.
Tak terasa kami sudah hampir 6 jam berjalan ketika sampai di pos air panas. Di sana kami berhenti dan membuka peralatan masak kami untuk sarapan. Kopi, energen, teh manis, mie goreng, nasi goreng jadi santapan kami pagi itu. Tak lupa solat Subuh, meskipun waktu sudah pukul 6 kurang.
Kami lanjut sekitar pukul 9 pagi menuju pos Kandang Badak. Di sepanjang perjalanan, kami bertemu banyak rombongan pendaki lain. Ditemani bunga2 yang sedang mekar, menambah romantisnya perjalanan. Cuaca cerah sepertinya menjadi berkah tersendiri bagi saya karena dapat menikmati pemandangan yang tidak bisa ditemui di Jakarta.
Hampir jam 12 siang ketika kami sampai di Kandang Badak. Rupanya di sana sudah banyak pendaki yang mendirikan tenda. Sebagai informasi, Kandang Badak adalah pos terakhir sebelum pendaki melanjutkan ke puncak Gede atau mau ke puncak Pangrango. Di sana kami mengisi botol air minum, sedikit mengisi perut kembali dan istirahat.
Ternyata puncak Gede dan Pangrango berbeda. Aku berpikir bahwa 2 nama tersebut adalah satu kesatuan. Setelah dari Kandang Badak tadi, kita akan bertemu 2 jalan yang memisahkan apakah mau ke puncak Gede (Surya Kencana) atau puncak Pangrango (Mandalawangi). Tujuan kami adalah ke puncak Pangrango. Cuaca mulai berkabut dan sedikit gelap. Jalan yang dilalui juga ternyata sangat menantang. Banyak pohon tumbang di tengah jalan dan tanjakan terjal yang sempit. Sampai akhirnya hujan mulai turun, kami bergegas memakai raincoat. Ternyata medan yang terjal sungguh menguras tenaga. Nafas mulai terengah-engah, kaki mulai sedikit malas berjalan, ditambah rasa ngantuk berjalan 12 jam. Kami berkali-kali berhenti hanya untuk mengatur nafas. Di tengah perjalanan, Kak Bocil mulai kelelahan. Rombongan kami terbagi menjadi 2. Saya, Ardy, dan Kak Ucup jalan di depan dan Kak Ojan dan Kak Bocil tertinggal di belakang. Kak Ojan menyuruh kami jalan duluan saja biar cepat sampai.
#bersambung
Fish = Ghoti
Diposting oleh
Unknown
di
20.59
Senin, 28 November 2011
There is no fixed rule how to pronounce word in English. If we relate this about the rules of phonetic alphabet, it says that one spelling or one word can be pronounced in different sound as well as one sound can be spelled in different words. For example, the words "to, too, two" the underlined alphabets represent one sound /u:/. on the other hand, the words " dad, call", the a in word dad sounds /æ/, the a in call sounds /ɔ/.
We can see in that example that English words is difficult to pronounce. I remember to what Mr. Sudarya said in Critical Reading class today. He said that one of famous writer, George Bernard Shaw made a joke. Shaw said that English is complicated in pronounciation. He said that he write the word "fish" in "ghoti". what does it mean?
Look, the word "fish" in phonemic transcription is written /fiʃ/.
It is the same with "ghoti". if we break the word into "gh", "o", "ti"
gh in enough sounds /f/, o in women sounds /i/ and ti in nation sounds /ʃ/
So, ghoti and fish is the same, because both can be pronounce /fiʃ/
What a silly joke it is!!!!!
Langganan:
Postingan (Atom)